Sunday, April 10, 2011

Melindungi aset bangsa

Selasa, 23 November 2010 | 16:01 WIB

Mohamad Sobary

Melindungi aset bangsa
Industri ini memukul telak industri sejenis di negeri yang jauh dari sini, memperoleh keharuman nama --lebih harum dari bau cengkeh.
Kadang ada baiknya bicara sloganistik mengenai "warisan nenek moyang", "aset bangsa", "kekayaan budaya kita", "kebanggaan nasional", "harga diri bangsa" dan banyak ungkapan lain.
Yaitu ungkapan yang bisa menggelembungkan rasa bangga kita sebagai penerima --mungkin penerus-- warisan adiluhung, yang nilainya tak terkira karena menyangkut kepentingan berjuta-juta jiwa. Ini sangkutan ekonomi yang riil.
Akan halnya sangkutan kebudayaan, yang simbolik sifatnya, siapa yang bisa memberi penilaian?

Ini yang lebih merupakan perkara sensitif, dan menaikkan harga ekonomi itu menjadi harga diri bangsa yang tak ternilai. Ini pula yang membuat kita bangga, dan menganggap itu semua warisan budaya bangsa yang tak ada tolok bandingannya.
Tak mengherankan bahwa ancaman datang dari banyak penjuru untuk membuatnya hancur luluh agar sifat sirik mereka terpenuhi. Tapi ada yang mengherankan: pemerintah kita sendiri.
Pemerintah seyogianya memberinya perlindungan, namun di berbagai bagian malah menjadi ancaman paling serius. Karena pemerintah bisa membuat satu dua kalimat vandalistis lewat perundang-undangan yang berwatak inlander.
Sejak zaman VOC sampai ke zaman VOC gaya baru sekarang ini, sifat sok kuasa pemerintah terhadap bangsa sendiri demi mengabdi kekuasaan asing dan demi kepentingan bangsa lain tak pernah berubah.
Mentalitas penguasa --dalam perkara penindasan-- seperti itu kelihatannya tak begitu banyak berubah.
Kita heran melihat fenomena politik seperti ini. Kemerdekaan rupanya tak memiliki arti apa pun bagi mereka.
Tapi ada yang lebih mengherankan. Dalam banyak peristiwa sejarah, ketika penguasa tampil kejam terhadap rakyat, kaum intelektual tampil sebagai kekuatan rohaniah dan politik, untuk melindungi dan menghargai tinggi mereka yang tak dihargai para penguasa.
Tapi hari ini, kita saksikan terjadinya pertemuan sikap tak peduli --bahkan jelas sikap menindas-- antara kedua kekuatan tadi, pemerintah dan kaum intelektual.
Jika pemerintah --sampai ke pemerintah di semua daerah-- berusaha menghancurkan yang kita sebut dengan rasa bangga dan penuh harga diri tadi dengan perundang-undangan, dengan perda-perda mematikan bangsanya sendiri, yang namanya kaum intelektual juga ikut.
Kaum intelektual itu ikut melakukan penindasan dengan kekuatan yang mereka punyai: argumen ilmiah.
Dalil-dalil ilmiah bisa saja --dan sangat mudah-- diproduksi dengan yang mereka sebut “temuan ilmiah”, yang mereka anggap meyakinkan. Tapi apakah sikap itu dilandasi kejujuran ilmiah betulan?
Apakah sikap ilmiah itu tidak bias kepentingan lain, yang bisa meruntuhkan moralitas mereka --ibaratnya-- dalam sedetik kebohongan yang mematikan diri mereka sendiri itu?
Di mana, sekarang ini, kita bisa menemukan orang jujur secara ilmiah, yang bisa berbicara ilmu bukan semata demi ilmu itu sendiri, melainkan ilmu demi kehidupan dan kebahagiaan manusia, termasuk diri mereka?
Di mana orang jujur seperti itu sekarang ini bersembunyi? Mengapa mereka itu begitu suka-relanya mengorbankan kredibilitas intelektual yang begitu mahal harganya, justru ketika harga itu tak ditentukan dengan uang?
Lantas mengapa mereka yang mewakili kepentingan rohani pun berani --dan tampak suka-rela pula-- menukarkan kredibilitas moral pribadi dan sekaligus kewibawaan lembaga mereka dengan sebuah keruntuhan moral hingga ke titik terendah, bahkan lebih rendah dari apa saja yang tak berharga?
Sejak dulu dunia memang berputar di porosnya yang kukuh, dan seolah --hanya seolah-- tak peduli atas apa pun yang terjadi di dalamnya.
Tapi di titik tengah poros itu, ada penglihatan yang jeli, yang tak berkedip dan tak pernah lalai --karena tak pernah tidur-- memperhatikan gerak jiwa kita.
Mereka yang duduk di pemerintahan disorot, dan diberlakukanlah hukum pemerintahan. Mereka yang "ilmiah" tadi disorot tajam dengan ukuran kejujuran ilmiah yang lembut.
Sedangkan wakil dunia "ruh keagamaan" tadi disorot dengan mata tajam, sambil dengan cepat tapi akurat menentukan hukuman yang layak bagi penyimpangan mereka.
"Apa yang sedang kita bicarakan ini?"
Kita berbicara tentang tembakau, rokok --lebih khusus kretek-- yang lahir di negeri ini ratusan tahun lampau oleh para perajin lokal, perajin kecil, yang daya endus hidungnya tajam melebihi hidung siapa pun, yang mancung ataupun yang pesek.
Pelan-pelan para perajin yang gigih, dan tidak main-main dalam menyikapi naluri bisnis mereka itu, tak terduga berhasil mengubah bentuk kerajinan mereka yang kecil menjadi sebuah industri raksasa, yang tak terkalahkan.
Sebaliknya, kita pun tahu bahwa industri ini memukul telak industri sejenis di negeri yang jauh dari sini, setelah kita memperluas pasaran internasional dan memperoleh keharuman nama --lebih harum dari bau cengkeh-- di mata para konsumen fanatiknya.
Kita bisa membayangkan betapa jengkel para produsen bermodal besar, di negeri besar yang dilindungi ketat oleh pemerintahnya itu, menghadapi kenyataan bahwa bangsa mereka sendiri lebih menyukai produk kita daripada produk dalam negeri mereka.
Diam-diam kita lalu menyimak beberapa hal penting.
Pertama, barang baik tak pernah bohong. Kedua, barang baik memang membawa gengsi universal. Ketiga, barang baik melahirkan idiom dalam bahasa jawa: rego nggowo rupo (harga menentukan rupa yang kita sukai).
Keempat, barang baik tak mengenal kebangsaan, karena semua bangsa suka akan apa yang baik.
Kelima, timbul kebutuhan dalam diri kita untuk melindungi hak atas barang baik dalam ukuran dan citarasa universal tadi, agar barang baik itu tak jatuh ke tangan siapa pun dan agar tak dirusak oleh siapa pun.
Termasuk --tak peduli-- perusakan atas nama moral dan argumen keagamaan, maupun keilmuan, yang dibutatulikan oleh mereka yang paham akan perkara agama dan dunia ilmu.
Orang agama tahu, kewajiban mempertahankan hak milik itu jihad di jalan Tuhan, suatu tindakan paling mulia, yang kini sedang dilakukan banyak kalangan --juga para petani-- yang hak-haknya terancam berkat fatwa suram, yang lahir dari kesuraman cara pandang.
Orang ilmiah bicara kebenaran ilmiah menjadi ukuran atas segalanya di dalam hidup mereka, dan kini mereka lihat sendiri rakyat --kalangan petani dan pengusaha-- sedang menolak argumen mereka.
Maka, kepada pemerintah, yang gigih menyediakan perangkap perusakan tadi, kita bertanya: di mana semangat membanggakan produk nasional --produk dalam negeri-- itu terletak? Di mana kesediaan melindungi produk dalam negeri, yang sudah menjadi aset bangsa itu, diwujudkan?
Semua pihak yang ada hubungan dengan tembakau --petani-- dan yang langsung berhubungan dengan kretek --pemilik industri-- taat, dan bersedia diatur.
Tapi marilah kita merdeka sedikit: kita buat aturan itu atas kepentingan dalam negeri, dan jangan bikin aturan yang dirancang bangsa lain, yang angkara dan hendak membuat kita sengsara.
Yang tersebut terakhir itu harus dilawan dengan penuh harga diri, demi melindungi aset bangsa kita sendiri.
M Sobary, budayawan.

No comments:

Post a Comment